Rabu, 16 Desember 2009

aku dan dia

Bukan, jangan salah sangka dulu. Aku ini termasuk yang paling malas nulis soal laki-laki di blog. Bukan karena aku tidak punya, aku punya pun, akan kupikirkan 10 kali dulu kalau harus mengeluarkan semua perasaanku untuknya di depan umum. Baik itu benci, sebal, marah, atau kangen. Itu norak sekali menurutku. Yah, menurutku.

Ini tentang lelaki, tapi bukan yang berhubungan dengan kata senorak "pacarku" atau "cowokku"
aku punya banyak stok laki-laki dirumah, ada dua adik laki-lakiku, sepupu, om, dan kakek. Silahkan pilih. Menulis cinta tentang mereka membuatku merasa nyaman. Karena setidaknya seumur hidupku, aku mengenal mereka, mereka keluarga, dan untuk saat ini, mereka layak di siram berjuta-juta cinta dariku.

Laki-laki ini ayahku.
Harus kuakui, meskipun kadang sangat gaptek sebagai akibat lahir tahun 60an, ayahku orang yang sangat mengagumkan. Dia banyak kekurangan dicara bicara dengan anak dan cara mengoperasikan komputer, tapi dia luar biasa canggih dalam berhubungan dengan orang lain dan bermain gitar, dari elektrik sampai kentrung.

Ayahku pandai masak nasi goreng, tapi jangan sampai menyuruh dia masak Gulai Kambing. Aku tidak yakin, karena jam terbang masaknya hanya di seputaran indomie dan nasi goreng. Jangan suruh dia bikin bakso, ayahku lebih suka beli daripada bikin. Dengan alasan praktis dan tentunya cari aman karena jangankan dia, aku pun tidak bisa membuat bakso. Aku memang ahli dalam hal mengunyah dan memamah biak, tapi masak, jelas bukan bidangku. Ini faktor genetik yang diturunkan ibuku yang tidak suka masak, serta ayahku yang kemampuan masaknya sama standarnya dengan Farah Quinn ketika berumur 4 tahun.

Perhatian ayah pada ibu juga membuatku terharu. Sekian tahun menikah, adalah prestasi tersendiri bagi mereka, hingga membuatku mengidamkan sosok lelaki seperti ayah, yang kalau bisa, menjadi jodohku nanti. Ayah yang selalu menerima ibuku apa adanya meski kadang protes kalau melihat kaki dan perut ibu yang akhir-akhir ini bengkak. Tapi selama masih banyak klinik akupuntur dan dokter gizi, ayahku tidak perlu khawatir. tapi ibuku punya alasan yang logis dalam hal kegemukannya. Dia baru saja melahirkan anak keempat ayahku. Sedangkan aku? kegemukanku jelas karena faktor obat penyeimbang hormon, cokelat, nasi padang, batagor, dan siomay.

Tidak selamanya aku akur dengan ayahku. Ada banyak kata yang tidak pernah bisa diucapkan sampai sekarang. Seperti ada tembok yang besar seukuran tembok besar China kali tiga diantara kami. Meski kami tahu, kami saling menyayangi. Saling takut kehilangan, saling merasa tersakiti melebihi apapun jika salah seorang diantara kami sakit. Aku menyayangi ayahku, lebih dari yang aku tahu. Aku hampir tidak berani melawan ucapannya. Aku menyilahkan dia makan lebih dulu baru kemudian aku makan. Kadang aku masak, dan dia tidak pernah mencela masakanku meskipun dia tahu itu mengancam kesehatan perutnya. Dia hanya akan mengunyah dalam diam, lalu mungkin berharap seandainya dia berada di tempat lain.

Mungkin ayahku tidak seperti ayah Andrea Hirata yang sejak andrea kecil, betapapun bandelnya, dia tetap yakin, anaknya akan jadi "orang" suatu hari nanti. Ketika aku bandel, maka ayahku akan semakin ketakutan, kalau2 aku tidak akan pernah jadi "orang" karena begitu banyak keraguan dalam dirinya tentangku.
Ada banyak curhatannya pada ibuku tiap hari.
Ada banyak kekhawatiran yang kadang diucapkan secara sengak. Tapi ada juga usaha untuk yakin dalam setiap keraguannya.

Ada banyak air mata ketika aku mengetahui itu. Antara marah, tersinggung, dan terharu. Dan ada banyak doa setelahnya, karena ternyata ada begitu besar rasa takut dihatiku, takut kehilangan ayahku...

Banyak hal yang tidak akan pernah selesai aku tulis tentang ayahku. Tentang cueknya dan perhatiannya yang coba dia mix jadi satu. Bukan campuran yang memabukan seperti es teler, hasil mix-nya membuatku kadang ingin minum Paramex tiap hari. Tapi bagaimana pun, aku cinta dia. Aku cinta ayahku... Dan mungkin perusahaan Paramex juga cinta dia, hehe

Tidak ada komentar: