Jumat, 04 Desember 2009

tentang itu

Kalau akhir2 ini aku sering menuliskannya dengan agak sebal, itu sama sekali tidak mengubah apapun, karena pada dasarnya aku dan ibuku selalu baik2 saja. Terkadang aku justru senang dengan hubungan kami yang unik, dekat, dan perbincangan kami yang asik, mulai dari masalah penting seperti: apakah sebenarnya yang membuat Irwansyah putus dari Acha Septriasa. Sampai masalah tidak terlalu penting seperti: berapa harga kawat gigi Acha Septriasa? (Sepertinya dua-duanya nggak penting ya)

Obrolan kami bisa mencakup segala aspek, ibuku akan dengan sangat lihai bertukar cerita tentang masa muda nya yang tidak begitu menyenangkan tapi bebas polusi, bisa juga kami berdiskusi tentang pada usia berapakah Mike Tyson memutuskan untuk botak?
aku pikir, berapa banyak anak-anak perempuan di dunia ini yang bisa punya hubungan semenyenangkan itu dengan ibu mereka? aku pantas bersyukur untuk yang satu ini.

Ibuku hanya tegang akhir2 ini, karena meskipun aku tau, dia berusaha setengah mati untuk menerima kenyataan kalau sebagian besar teman2 sekolahku sudah menikah dan hidup bahagia, tapi tetap saja masalah itu seakan menjadi paku payung di sepatunya.
untuk ketabahan luar biasa beliau yang dengan sangat sabar menghadapi anak perempuan sulungnya ini, rasanya tak berlebihan jika aku menghadiahinya berkarung-karung sayang setiap hari.
aku tidak menyalahkan sikapnya yang terkadang uring2an, mengingat dia selalu memikirkan aku setiap kali melihat majalah wanita, membuatku yakin, ibuku hanya ingin yang terbaik. Aku tidak pernah lelah mendengarnya berpendapat tentang baju apa yang sepantasnya aku pakai, aku tidak pernah menghalangi niatnya untuk mengkreasi baju apapun bentuknya itu, hanya agar aku terlihat menarik dimatanya.
buatku, itu semua menyenangkan, kecuali bagian dimana dia harus dengan terus terang berkomentar kalau aku ini tidak begitu menarik.

Sudah lama sekali aku tidak memikirkan cinta. Mungkin sebenarnya aku tidak pernah merasakan itu sama sekali. Aku justru ngeri kalau harus berdiskusi tentang ini. Cinta sejati, saling mengerti satu sama lain, hidup bahagia selamanya...buatku terdengar seperti legenda sangkuriang dan candi prambanan. Cantik, indah, menghanyutkan, tapi diragukan kebenarannya.

Ibuku sendiri yang mengajarkan aku untuk menjadi kuat, meski aku tau diam2 dia khawatir dengan status lajangku kalau2 itu akan jadi permanen. Menurutnya, melibatkan emosi dalam hubungan duniawi seperti kerja, cinta dan sosial, itu sama berbahanya dengan milkshake coklat bagi penderita diabetes akut.
Sistem pertahanan tubuhku sendiri berbanding terbalik dengan kemampuan kerja otak. Sistem pertahanan itu akan dengan sangat otomatis dan cepat menolak apapun yang mungkin mengancam kesehatan jiwaku, seperti: terlibat cinta dengan laki-laki.
itu yang kadang membuatku mengutuki diri sendiri, karena ternyata aku sendiri yang menolak kehadiran sesuatu yang mungkin indah.

Aku memang tidak akan menangis dengan perpisahan, kalau2 nanti aku mencoba untuk pacaran dan hubungan itu tewas ditengah jalan. Aku hanya akan berusaha menahan diriku untuk tidak menyemprot mulut dengan Bayfresh.
Kejadian itu tidak akan bertahan lama, aku orang yang pelupa. Hanya saja, aku tidak akan pernah sudi pacaran lagi.
Ibuku yang uring2an tiap kali mengingat statusku sambil melihat anak temanku yang sudah berumur satu tahun, akan bersikap sama. Ibuku tidak akan dengan histeris memintaku cepat2 menikah, hanya dia tidak akan pernah bisa tidur nyenyak sampai dua bulan kedepan. Lalu ayahku yang cuek tapi diam-diam perhatian, akan mulai menasehatinya macam2 sampai ibuku merasa "tenang, semuanya akan baik-baik saja"

Sikap acuh yang kutebak diwariskan ayahku ini, terkadang membuatku selamat ketika harus berbohong (baca: pura2 senang) ketika melihat banyak pasangan berusia sepertiku jalan2 di mall, mereka bergandengan, tertawa, atau keduanya.
Aku akan tersenyum meski dalam hati ingin sekali melempar mereka ke pemukiman suku kanibal di pedalaman Afrika yang sudah tiga tahun tidak makan.
Aku cukup ahli dalam hal ini. Sampai aku menyadari, itu bukan sikap cuek, tapi sirik tertahan. Aku akan menyelamati mereka dan berharap untuk kebahagiaan yang lama meskipun hatiku mengumpat sejadi-jadinya.
Munafik? mungkin. Itu sama saja dengan kalau kamu melihat wanita cantik, tinggi langsing, dan dalam hati kamu berdoa semoga dia tolol setolol-tololnya supaya kamu bisa dengan tanpa rasa bersalah meremehkannya habis-habisan.

Rumus untuk kasus ini biasanya singkat dan menyebalkan, "hidup itu tidak pernah adil" entah kenapa aku percaya kata2 bodoh ini. Aku sendiri tidak pernah bisa percaya dengan kisah cinta platonik maha dahsyat yang akan membuatmu menikahi siapapun itu yang kamu pacari hanya setelah sebulan pacaran. Kalau kamu cukup beruntung karena ternyata pacarmu itu ganteng, maka kamu akan menikahinya secepat yang kamu bisa, besok pagi paling lambat. Lalu setelah sekitar tiga ratus tahun berumah tangga, perasaan kamu terhadapnya masih sama seperti saat kamu disengat cinta untuk pertama kali.
demi Tuhan.
tidak ada yang seperti itu.

Cinta akan menjadi "kebiasaan yang nyaman" sampai kamu lupa, sebenarnya rasa itu masih ada atau tidak. Yang biasanya tidak peduli pada bentuk badan, maka setelah kira2 seratus lima puluh tahun berumah tangga, kamu akan dengan gampang mengatakan kalau sebenarnya kamu tidak pernah menyukai badannya yang terlihat seperti Winnie The Pooh. Kamu tidak akan takut dia pergi karena "kebiasaan yang nyaman" akan membuatnya berpikir ulang untuk mencari wanita lain.
Cinta akan menjadi sebuah "kewajaran" sampai kamu tidak bisa berpikir adanya kemungkinan kamu bersama laki-laki lain. Karena keberadaannya bersama mu adalah sesuatu yang memang sudah sewajarnya. Kamu tidak akan pernah membiarkan dirimu sendiri keluar dari kewajaran yang akan membuatmu terasing dari peradaban, bukan?

Cinta akan menjadi hitungan kalkulatif tentang umur. Sebagian dari kita akan dengan mudah melepas masa lajang demi menghindari cibiran tetangga yang mungkin sama menyebalkannya dengan para pedagang Arab di Tanah Abang, yang diam2 berdoa supaya kamu jadi perawan tua. Meskipun kamu tidak yakin dengan apa yang bisa ditawarkan lelaki itu untuk masa depanmu, tapi setidaknya pernikahan tersebut akan membuatmu menang, dan tetanggamu cemberut ketika harus mengakui "iya ya, kamu akhirnya laku juga" yang mana akan membuatmu mendapat 500 poin dalam acara saingan itu.
Kamu tidak akan memikirkan bagaimana hidupmu dan pasanganmu sampai lima tahun kedepan. Apa yang akan dia katakan kalau kamu minta kenaikan uang bulanan karena harga2 semakin naik?
a) akan kuusahakan sayang, itu sebabnya aku berkerja keras
b) jangan minta apa2 lagi, atau itu akan memberiku banyak alasan untuk segera menceraikanmu.

Cinta akan berubah menjadi pasar gengsi. Bagaimana latar belakang keluarga atau pendidikan calon pasanganmu adalah harga mutlak yang akan memberimu kebanggaan tiap kali kamu bertemu teman2mu. Kalau dia berasal dari keluarga sekaya Bakrie, maka meskipun kamu tau dia begitu mengerikan karena punya kebiasaan makan mie dari hidung, kamu tidak akan pernah "tega" memutuskannya. Kalau dia lulusan Harvard, maka meskipun dia seorang kutu buku yang sama sekali tidak seru, kamu akan mengingkari akal sehatmu dan mulai berpikir "siapa yang butuh tantangan, hidup ini sudah cukup seru tanpa perlu pria seru!" dan kamu akan memaafkan dirimu sendiri seandainya suatu saat kamu mati bosan. Paling tidak, status sebagai istri si lulusan Harvard akan menjadi cerita mengharukan bagi cucu-cucu mu kelak.

Tentu saja semua yang kukatakan itu omong kosong. Itu hanya karena aku tidak ingin mengakui kalau aku kalah, dan betapa bosannya aku terus-terusan ada di pihak yang kalah. Tapi juga karena aku terlalu menyebalkan, aku tidak akan pernah mengakui itu semua, aku biasanya memang akan berkomentar demikian. Biarkan saja aku bercerita macam2 tentang bahaya cinta bagi kesehatan, biar para pasangan itu putus. Mampus.
Aku tidak menyangka aku punya sifat semengerikan ini. Salah seorang temanku bahkan sampai dengan gamblangnya mengatakan kalau aku terlalu banyak berhalusinasi. Aku takut menghadapi sesuatu yang buruk sambil diam2 terus mengharapkannya terjadi. Aku tidak yakin akan adanya kisah cinta picisan yang meledak-ledak karena aku tidak pernah bisa mempercayainya.

Tidak ada cara untuk 'percaya' selain 'belajar percaya'
tapi dengan gengsi setinggi gunung Himalaya, aku lebih suka minum teh manis campur dua pecahan kaca daripada harus percaya pada hal yang selama ini mati-matian aku hindari.
Aku memang tidak akan menolak saran itu mentah-mentah, hanya menggertakan gigi dan menderita dalam diam. Aku tidak akan dengan kurang ajar mengacuhkan saran seorang teman yang sungguh-sungguh, hanya aku akan berharap seandainya aku berada di Moscow dan tidak perlu mendengar ocehannya.

Mungkin hal2 seperti ini sudah diramalkan Ibuku sejak pertama kali dia tau kalau dia mengandung aku. Pasti banyak pikiran negatif yang menyelimutinya sepanjang dia hamil, dan membuatnya sadar anak macam apa yang nantinya harus dilahirkan. Mungkin itulah yang membuat ibuku senewen.
karena dia pasti akan berani bertaruh jutaan dolar kalau dengan sifatku yang angkuh, sok tau, menyebalkan, dan cuek pada segala sesuatu ini akan membuat siapapun laki-laki yang sudah mengenalku selama sebulan akan berusaha melarikan diri.
Ibuku terus menerus meyakinkan dirinya bahwa aku diciptakan dari tulang rusuk calon suamiku, hingga suatu saat dia akan menuntutku untuk menikahinya sebagai alat penebus utang. Pikiran itu membuat ibuku tenang, meski dia sedikit sangsi, jangan2 laki-laki yang tulang rusuknya kucuri itu sangat baik, hingga dia mengikhlaskan saja semua hutangku padanya.

demi Tuhan
pikiran ini membuatku takjub. Lihat bagaimana cepatnya cara kerja otakmu setiap kali kamu membiarkannya berpikir negatif. Itu sama dengan menyiksa diri pelan2 dan akhirnya menjadi "kebiasaan hidup" bagimu.
aku takjub karena sampai sekarang aku belum menangisi diri sendiri, meski seringkali aku kepayahan untuk bersikap normal karena sebenarnya aku tidak pernah begitu menyukai hidup ini.
Ibuku dengan sangat bijak menyuruhku untuk dekat dengan Tuhan, untuk mengemis segala kebahagiaan yang mungkin masih ditahan untukku. Aku kira itu solusi terbaik saat ini, biarpun itu sama menyedihkannya dengan jalan2 di alun-alun kota sambil pakai kalung "Aku Putus Asa." Tapi setidaknya, aku bisa melakukan hal yang 'benar' dalam hidup. Yah, berbicara dengan Tuhan, tidak pernah menjadi sesuatu yang salah bukan?

Tidak ada komentar: