Senin, 21 Desember 2009

Sempurna itu mustahil

Tulisan ini tidak bermaksud untuk personal-attack kepada siapapun, harap maklum. Ada banyak alasan kenapa saya lebih memilih agar blog saya tidak menampilkan komentar dari para pembaca. Bukan karena saya tidak butuh, tapi karena bukan itu tujuan saya menulis. Tulisan saya adalah bentuk eksistensi sebagai manusia yang kadang tidak bisa bicara dengan mulut. Beberapa seniman menggunakan musik, lagu, lukisan, puisi atau bahkan film. Untuk mengkreasi sesuatu yang sebenarnya tidak bisa mereka kemukakan. Atau bahkan sebuah film, dibuat untuk menciptakan sesuatu yang tidak mungkin ada di dunia nyata. Tidak semua dari para penulis, pelukis, musisi atau sutradara canggih itu membutuhkan komentar. Yang mereka tau hanyalah mereka hidup dan berkarya. Komentar membuat kita menjadi terkenal, tapi kita bisa saja mengomentari sesuatu yang tidak terkenal, sehingga saya idem dengan apa yang dibilang dewi lestari, terkenal belum tentu berkarya.

Banyak yang menjadi silent reader, saya tidak peduli. Komentar, baik atau buruk, seharusnya tidak menghentikan langkah seseorang. Dikomentari atau tidak, tidak menjadikan manusia itu "hilang" toh itu lebih baik daripada diam.
Banyak dari kita yang belum bisa menerima perbedaan pendapat. Banyak dari kita yang segera antipati hanya karena arogansi sesaat. Contoh kasus luna maya yang jelas2 ada pemicu-nya kenapa dia bisa berbuat se"kasar" itu. Kasus Prita yang juga pasti ada sebabnya kenapa dia sampai menulis di internet tentang RS yang bersangkutan. Dan banyak lagi yang lain.

Sebagian masyarakat yang "kata"nya digerakan oleh media untuk mendukung atau mencela dua orang tersebut, terus memberikan reaksi. Menurut saya itu bukan dorongan media, media hanya memaparkan fakta, selebihnya, masyarakat sendiri yang menilai. Masyarakat kita masih punya nurani, itu jelas. Banyak simpati yang mengalir ke dua orang tersebut, adalah bukti bahwa nurani memang tidak bisa dibohongi.

Itu hanya contoh dalam skala besar. Beralih ke contoh kehidupan sehari-hari. Saya ingin bertanya, dimanakah kita bisa menemukan manusia yang 100% sempurna? Manusia yang bisa mengatakan kepada manusia yang lain bahwa dirinya lebih baik dari orang lain? Manusia yang tidak pernah mendapat cibiran atau perlakukan tidak adil dari lingkungannya? Dimana ada yang seperti itu?

Terkadang kita menjadi sangat lebay ketika kita berharap lawan bicara akan bereaksi seperti yang kita inginkan. Kita akan me-reject dengan segera kalau ternyata dia menunjukan sikap yang jauh dari yang kita duga.
Sadar atau tidak, ketika kita berbuat demikian, kita menjadi tidak manusiawi. Bahkan untuk sebuah keluarga pun, tidak bisa kita memaksakan kakak sesuai dengan keinginan adik, ayah sesuai dengan keinginan ibu. Apalagi di lingkup sosial yang lebih serba "siape elo?!" Manusia punya jalan hidup sendiri, punya pikiran sendiri, punya keinginan yang tidak bisa dikendalikan orang lain. Itu jelas. Setiap manusia adalah pemimpin, khalifah, yang pasti punya cara-cara sendiri dalam memimpin hidupnya.

Mari kita bicara, ringan, dan tidak menggurui. Mari kita bertukar pendapat, dengan tidak saling menyerang. Mari kita terus disini kalau kita peduli. Tidak ada yang membenarkan tindakan kasar, tidak ada yang peduli entah anda mau berbuat seradikal apa, tidak ada hubungannya dengan kita. Tapi manusia itu punya nurani. Kita akan melihat sebab-akibat dari reaksi seseorang dengan bijak. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada tindakan kasar kalau kita tidak dipancing lebih dulu. Mereka yang masih mau peduli adalah bukti nurani itu masih ada.

Mencoba mengingat kesalahan sendiri tidak pernah menjadi sesuatu yang salah. Pernahkah kita berpikir mungkin reaksi negatif dari oranglain itu berasal dari kita sendiri?
munkinkah dia yang selama ini menjadi partner kita sebenarnya sudah lama memendam rasa sebel pada sikap kita, lalu kemudian dimuntahkan karena sudah tidak sanggup menampung? bukankah itu artinya dia lebih sabar dari kita? dia lebih bisa menjaga perasaan kita sekian lama, sampai2 dia tidak memuntahkan amarahnya begitu kita salah.
Pernahkah berpikir bahwa setiap manusia selalu punya sisi baik, tapi kenapa sulit sekali bagi kita untuk mengingat itu?
dan mungkinkah, sebenarnya, kita sendiri yang tidak siap dengan beragam reaksi oranglain?

Saya tidak mengatakan kalau di luar negeri sana, orang sudah begitu bebas, tidak ada waktu untuk mengurusi perasaan orang lain. Saya tidak tahu, karena saya toh tidak bisa membaca apa yang sebenarnya ada di hati setiap orang. Apakah perasaan acuhya adalah sikap yang ada sejak lahir, kurang rasa empati, sedikit simpati, sibuk, atau memang begitulah cara mereka memperlakukan orang lain.
Saya pun tidak ingin berkomentar. Bagi saya, itu keberagaman cara hidup yang menarik untuk diperhatikan. Untuk ditiru? belum tentu cocok.
Saya berangkat dari kultur masyarakat yang tidak semuanya bagus, tidak juga semuanya jelek. Saya suka dengan toleransi, gotong royong, empati dan tutur bicara yang beradab. Meski kadang toleransi itu menjadi "suka ikut campur", gotong royong itu menjadi "ngurusin urusan orang lain", empati itu menjadi "sok peduli" dan tutur bicara yang beradab itu menjadi "munafik"

saya tidak ingin memikirkan perubahan makna kalimat-kalimat itu. Buat apa, toh manusia punya saringan sendiri untuk memilih mana yang baik mana yang salah. Tapi tetap, pada dasarnya, semuanya ingin berbuat baik. Ketika kita bilang "oh ini bagus ya" atau "oh nggak apa-apa, itu nggak salah kok" bukan salah kita kalau nanti lawan bicara kita punya pikiran "duh munafik, bilang aja ini jelek dan salah!"
itu juga bukan urusan kita, wong niat kita cuma ingin bicara sopan yang tidak melukai hati kok. Kalau nantinya timbul reaksi macam-macam, itu bukan urusan kita. Yang jelas, maksud kita baik.


Lagipula, tidak semua masyarakat kita siap dengan "kecuekan" orang-orang barat. Ketika kita dengan PD-nya, langsung tidak peduli ketika ada orang bicara nggak jelas, atau langsung pergi ketika saya tidak didengarkan, atau langsung bilang "jelek" pada apa yang saya anggap jelek...
apa yang seringkali kita terima? di cap sombong, di anggap negatif, di anggap tidak berselera. See? kita mengagung-agungkan cara hidup orang barat, kita cuek, tapi marah kalau dicueki, kita bisa dengan gampang menyerang pendapat orang lain, tapi marah kalau diserang, kita berbuat seenaknya, tapi marah kalau diperlakukan seenaknya.

Sekali lagi, itu bukan masalah kita tinggal dimana. Karena sesungguhnya mental dan sikap itu tidak pernah tergantung dari tempat dimana kita tinggal. Itu murni berasal dari kualitas kita sebagai manusia.

Manusia itu manusia, salah, khilaf, berprestasi, anjlok, baik, untung, rugi, negatif, positif, itu manusia. Tidak ada yang sempurna, bahkan untuk karya yang diusahakan sesempurna mungkin pun pasti ada cacatnya. Ibu saya pernah bilang, "manusia sempurna karena punya kelebihan dan kekurangan, kalau cuma serba lebih aja, serem juga kali" karenanya, sempurna itu mustahil, lalu apa salahnya mencoba bersikap empati? memaklumi kesalahan itu sebagai bentuk wajar kita sebagai manusia. Jangan mengharapkan lebih dari manusia, kita toh sama seperti Mang Wawan, tukang sayur langganan bu kos, cari rejeki juga, sama seperti Bu Sayang, tukang baso goreng langganan saya, sama pengan bersikap ramah juga, sama seperti Britany Murphy, akan mati juga, sama seperti Menteri, kita sekolah juga, sama seperti anda, kadang berbuat salah juga.

Tidak adil rasanya jika kita menghakimi seseorang hanya karena kita tidak bisa menerima reaksi dan sikap hidupnya.


*sekali lagi, ini bukan untuk menyerang siapapun, kalau ada yang merasa, maaf...

Tidak ada komentar: