Minggu, 02 November 2008

keep my style!

Saya udah bilang saya tidak bermaksud membunuh karakter siapapun, tapi tetep aja diterjemahkan sebagai “hujatan” oleh salah seorang pembaca.
Mungkin kesalahan ada pada saya, dalam kondisi sangat emosi, saya cenderung labil dalam memainkan kata2. semuanya terlihat sangat jelas, terang, menjadi sebuah tulisan yang terlalu jujur, sampai bisa diidentifikasikan “kalap” bagi pembaca.
Meskipun begitu, sejujurnya saya tidak peduli bagaimana tanggapan orang mengenai tulisan saya. Saya cuma mencoba merefleksikan isi hati kedalam sebuah seni tulis menulis. Buat saya seni tidak memiliki takaran bagus atau tidak. Tidak ada standarisasi sebuah seni diartikan, semuanya netral. Otak manusialah yang akhirnya bermain, dan memberi label pada suatu seni.
seni seharusnya bukan untuk di evaluasi, tapi di apresiasi...

Saya percaya saya tidak bisa merubah pendapat orang sesuai dengan yang saya mau, mereka akan berjalan dengan pemikiran sendiri. saya tidak bisa memaksa orang lain harus memuji atau sependapat dengan saya, semuanya kembali ke pribadi masing-masing. Kalau si pembaca itu berkomentar bahwa tulisan saya adalah hujatan, saya minta maaf. Tidak pernah ada maksud seperti itu. Saya mencoba untuk tidak peduli pada apa yang dia bilang, tapi saya berpikir bagaimana seseorang yang menjadi objek tulisan saya itu akan merasa? Tidak semua yang dia lakukan pada saya itu negatif, ada sisi positif yang kemarin saya lupakan. Karena alasan itu, sungguh, saya akhirnya merevisi tulisan ini.

Sebenarnya tidak ada yang spesial, saya cuma mengalami kegagalan lagi (untuk kesekian kalinya) dari suatu usaha menemukan dua pikiran yang berbeda. Saya berpendapat bahwa jalannya pikiran adalah seiring, bukan digiring. Kedua manusia bertemu untuk saling mempertemukan dua pikiran berbeda hingga ditemukan sebuah teori baru, teori ‘kita’. Bukan memaksa salah satu pihak untuk menjadi sama dengan yang lainnya.

Mungkin itu yang saya alami.
4 bulan kemaren, dalam suatu hubungan yang abstrak, saya mencoba menjadi karakter yang disyaratkan teman dekat saya. Saya tidak bisabilang tidak seenaknya karena begitulah yang dia lakukan pada saya, seenaknya, meminta saya berubah, menyalah2kan semua pendapat saya, menggantung perasaan saya padahal dia tau saya sayang sama dia, seenaknya marah2, pergi, kemudian datang lagi seolah tidak terjadi apa-apa. Saya berubah sampai jungkir balik pun dia tetap sama, tidak ada perubahan dari dia.

Semua cara berpikir, cara bicara, cara menulis saya dianggap salah. Sudah berusaha sebenar apapun, tetap tidak ada penghargaan sedikit saja dari dia.
Dia bebas bersama yang lain dan saya hanya diam. Tidak bisa cemburu walaupun ingin. Tapi dimana kapasitas saya buat cemburu? Saya selalu bertanya itu dalam hati. Semuanya sudah saya lakukan, termasuk memblow-up perasaan saya, tapi dia tak acuh. Dia sering menebar kata2 ‘sayang’ tapi saya tidak pernah ada kemampuan untuk membalas. Sekalipun saya membalas, dia akan acuh, dan itu membuat saya malu. Seolah sengaja menjatuhkan harga diri saya untuk sebuah kalimat yang menurutnya tidak begitu penting.

Mau tidak mau saya punya perasangka…
Apakah dia menikmati situasi ini?
Apakah dia merasa diatas awan dengan kenyataan bahwa saya membutuhkan dia?

Banyak kata2 kasar yang dia lontarkan pada saya. Kadang untuk sebuah kesalah kecil, kadang malah bukan untuk kesalahan apapun.
“bodoh!”
“aku nggak suka sama kamu!”
“Kalau mau jadi cewek aku, kamu harus feminim!”
“aku nggak mau jadi temen kamu, apalagi cowok kamu!”
“dasar cewek aneh!”
“kamu salah tu! Harusnya gak kayak gitu!”
“penelitian apaan tu! Jastifikasi ! murahan!”
“Teori apaan tu?! Gak jelas!”
“apaan tuh, gak ngerti ! omongan kamu gak merakyat!”
Gak cuma ditelpon, di sms, tapi juga didepan umum.
Semuanya akan berakhir dengan dia pergi, lalu datang lagi, seolah tidak pernah mengucapkan kata2 itu…gak peduli karenanya saya sudah luluh lantak hancur minah.
Kemudian dengan bodohnya, setiap kata maafnya akan saya terima. Cuma “maaf”, tanpa kejelasan lain. saya pun akan kembali maklum, memang dia orang yang temperamental, dan saya harus tahan dengan itu. Lagipula dia udah minta maaf…

Semakin lama ketidaksehatan itu berlangsung, tidak hanya berdampak pada kondisi mental saya, tapi juga pada kesehatan saya. Saya semakin lemah dan semakin sengaja melemahkan diri karena pikiran saya terlalu fokus pada satu objek.
Semua teman2 kita sebagai pihak yang netral menyarankan saya untuk berhenti. Sudah cukup saya terlalu berempati pada dia hingga saya melupakan diri saya sendiri. diri saya yang seharusnya menjadi objek terpenting dari hidup saya.

Tapi saya keras kepala, saya belum mau berhenti…
Saya terus berusaha membenarkan semua yang dia lakukan, saya mengingat semua kebaikan2 dia yang selalu menanyakan kondisi saya, selalu ada buat saya, selalu mau nemenin saya…
Tapi kian lama perbandingan kebaikan dengan ketidakjelasan itu semakin timpang. Terlalu sedikit kebaikan yang bisa saya ingat, sampai akhirnya saya tidak tahu harus memaklumi bagian mana lagi.

Saya sendiri menyadari, saya tidak bahagia dengan kondisi seperti itu. Setiap hari seperti judi. Gambling.
Subuh2 saya akan bangun, berdoa untuk kebaikan dia dan semoga dia mau baik sama saya hari ini. Kemudian seharian itu akan saya lewati dengan was-was sambil mulutnya komat-kamit baca doa. Kalau seharian itu di baik, malamnya saya akan sujud syukur, kalau tidak, saya akan menangis sendirian.

Saya berusaha sebaik mungkin ketika dia berkeluh kesah. Tiap telpon saya nanya kondisi, dia selalu jawab “capek!” selalu capek…dan capek…untuk aktivitas apapun. Seolah tidak ada yang menarik dalam hidupnya. Kalau saya mencoba menghibur, dia bakal jawab “sok tau!”
Kadang telpon saya juga gak diangkat. Dan dia gak akan mengkonfirmasi kejelasan apapun kenapa dia gak ngangkat telpon. Tinggalah saya sendiri dan malu.
Ketika sibuk dengan pekerjaannya dan saya sms, berhubung saya tidak tahu kapan2 saja waktu dia sibuk, saya akan dimaki-maki “lagi sibuk! Gak ngerti apa ya?!”

Akhirnya, kemaren, setelah sekian kali saya jadi yoyo (kadang dinaikin kadang dijatuhin) saya merasa sudah tidak ada rasa. 4 bulan menertawakan diri saya sendiri, mencoba mengerti, tapi usaha saya seperti tidak ada artinya…
Mungkin dia juga bingung atau apa, saya tidak tahu…
Dan saya tidak lagi mau tau…
Setelah untuk kesekian kalinya dia tanya:
“kamu kenapa?”
Lalu saya jawab panjang lebar mengenai masalah saya sendiri.
Lalu dia diam.
Cuek.
Sampai dia beberapa waktu kemudian dia jawab “sori, gak ngerti, omongan kamu gak merakyat!”
mmmm…
kalau memang kamu tidak mengerti dengan semua yang saya bilang, biarlah ssekarang saya mencari orang yang mau mengerti saya.
Untuk pertama kalinya hari itu saya berani melawan. Berani berontak. Dibilang kasar juga terserah! Bahkan ketika dia bilang “jangan hubungi aku lg!” saya terima. Bukan baru pertama dia bilang seperti itu, tapi baru pertama kali buat saya, untuk rela melepaksan dia
Aku tidak lagi memperdulikan kamu...

ingatan saya kembali ke 4 bulan yang lalu, saat dia bilang "kalau kamu mau jadi cewek aku, kamu harus berubah..."
tidak, bahkan kerika saya jadi pacarnya pun dia tidak menerima perubahan apapun dalam diri saya, dia tidak ingin saya, dia ingin saya jadi orang seperti yang mau dia lihat.
saya tidak mengerti kenapa orang tidak bisa mencintai seseorang for what she is, NOT for what she should be...

Sudah cukup.
Saya ingin dihargai bukan dihakimi.
Memang beginilah saya, style saya, saya tidak mau menjadi orang lain.
Terima kasih untuk semuanya… semuanya…
Semua yang baik2 dari kamu untuk saya…

Sekarang saya tahu, mencintai diri sendiri itu jauh lebih penting daripada dicintai oranglain.

(tulisan ini benar2 sudah direvisi, mau ditanggepin kayak gimana juga sebodo amaaaaat!!)

Tidak ada komentar: