Sabtu, 21 Maret 2009

Seserius Langit Sore Itu

saat masih pacaran dulu, beberapa waktu yang lama setelah jadian. Saya mendapati dia berubah. Ketus dan emosian. Saya bisa maklum, orang yg tekanan darahnya tinggi emang suka marah2 nggak jelas. Jadi saya saranin dia buat cek ke dokter. Eh, dia malah makin ngambek. Lalu saya ngintip bagian bawah sepatunya, kali2 aja dia keinjek kotoran ayam. Orang kalo abis nginjek sebangsa yg menjijikan2 gitu kan suka emosi. Tapi ternyata enggak.
Akan terlihat sekali bedanya kalo orang yang biasa ceria tiba2 jadi temperamental. Saya bingung.
Sampai saya nggak tahan dan tanya langsung ke dia. Kenapa tiba2 jadi begini.
Saia: “ada yg salah? Jawaban di kertas ujian kamu misalnya. Makanya lain kali belajar, biar nggak ada yang salah.”
Dia: (senyum sinis) “kenapa kamu nggak pernah bisa serius?”
Saia: “…?”
Dia: “apa tidak bisa kita seperti pasangan2 normal lain yang sesekali bisa serius? Nggak terus-terusan main2, ketawa2…aku capek. Aku juga pengen kayak yang lain.”
Saia: “…”
Dia: “sebenarnya kita ini emang seharusnya bersama atau nggak? (senyum sinis lagi) apa bener kamu sayang sama aku, aku nggak pernah tau. Kalo aku nyuruh kamu buktiin itu dengan sesuatu yg ekstrim, misalnya, mmm…
Saia: “jalan-jalan dikuburan malem2?”
Dia: (senyum sinis) “tu kan, kamu nggak bisa serius. Misalnya kamu rela mati demi aku atau gimana… aku bener2 udah bingung dg hubungan kita. Aku nggak menemukan lagi keasyikan seperti dulu. Ada saat2nya dimana aku ingin serius, dan sepertinya kamu nggak bisa.”
Saia: “lalu kamu maunya apa?”
Dia: “putus?”
Saia: (menghela napas panjang) “jawabannya akan saya beri besok.”
Dia: (agak gelagapan) “sebenarnya nggak perlu kita putus. Tapi, bisa kan kamu berubah, jadi manis kayak…mmm…Sita?” (for note: Sita adalah mantan pacarnya dulu)
Saia: “saya akan kasih jawabannya besok.”

Malamnya saya memutar otak. Saya nggak nyangka kalo ternyata laki-laki juga bisa bicara seperti itu. saya kira, romantisme hanya milik perempuan.
Karena perempuan terlalu romantis dan mendayu-dayulah maka RA. Kartini mencoba membuat perubahan dengan konsep bernama: emansipasi. Tapi mungkin Kartini kurang mengenal laki-laki. Dia tidak tau kalau laki-laki juga bisa menjadi naif dalam urusan cinta.

Jawaban apa yang akan saya beri…
Saya biarkan semuanya mengalir. Ya, kita ini manusia. Jika di analogikan dengan sungai, ada baiknya jika sekali-kali kita jadi arus, bukan batu.

Esoknya saya menemui dia lagi.
Dia: “gimana?”
Saia: “saya mo ngomong, agak panjang. Tolong jangan dipotong dulu.”
Dia: (ngangguk)
Kita duduk berdua, bersebelahan, dilapangan almamater SMA kami dulu. Menatap langit sore yang mulai sejuk. Didepan kami, beberapa anak bermain basket.

Saia: “saya selalu meminjamkan tangan saya untuk memencet nomer telpon kamu setiap pagi, atau sms, berkali-kali, sampai kamu bangun. Karena saya tau kamu sering telat kuliah. Dan untuk bisa seperti itu, saya selalu bangun lebih pagi.”

Saia: “saya selalu meminjamkan mata saya, bahkan sampai malam untuk nonton pertandingan bola, karena dikosan kamu nggak ada tv dan kamu ingin tau hasil pertandingan itu, bagaimana pertandingan itu berjalan, biar kamu nggak telmi kalo besoknya ketemu sama temen2 kamu. Saya sendiri berusaha memahami kenapa satu bola direbutkan 22 orang sambil berusaha menahan kantuk.”

Saia: “saya pinjamkan telinga saya untuk semua keluh kesah kamu. Bahkan sampai berjam-jam. Sampai kadang keluh kesah kamu tentang mantan kamu yg masih suka kamu bahas. Saya berusaha sebaik mungkin memberikan nasehat, memikirkan tebak2an, cerita lucu, biar kamu bisa semangat lagi. Meski kadang hati saya sendiri perih.”

Saia: “saya pinjamkan kaki saya untuk ikut uring2an nyari tugas kamu. Meski berja-jam. Panas. Capek. Tapi saya berusaha semangat, biar kamu semangat juga.”

Saia: “kamu orang yg ceroboh, banyak barang yg berceceran, saya akan selalu dg senang hati mencarikannya. Lalu saya taruh ditempat yg benar. Kemudian ketika kamu belum juga menemukannya, saya akan meminjamkan mulut saya ditelpon untuk membimbing kamu menemukannya meski sering kali saat itu saya sedang kuliah.”

Saia: “saya pinjamkan waktu saya untuk belajar menyukai apa yg kamu sukai. Bola, mesin, musik keras. Sampai kadang saya beli buku panduannya. Berusaha keras agar ketika kamu ngajak saya bicara nanti, kita bisa nyambung.”

Saia: “kamu orang yg kadang nggak PD. Kamu sering merasa terintimidasi dengan kondisi temen2 kamu yg lain yg menurut kamu lebih baik. Saya selalu dengan tulus mengatakan kalau kamu lebih baik dari mereka. Lalu saya mencoba menenangkan kamu untuk nggak emosi ngikutin mode.”

Saia: “kalau saya harus mati demi kamu, saya nggak mau, itu tolol. Selama ini saya justru selalu memperjuangkan agar kita bisa berjalan seiring, bukannya mati. Semuanya nggak harus berwujud romantisme seperti yg kamu maksud. Saya lebih suka melakukannya daripada mengatakannya.

Saia: “saya sudah pinjamkan tangan, kaki, mata, telinga, mulut, waktu, juga ketulusan untuk kamu, dan itu semua serius. Tapi kalau menurut kamu itu belum cukup juga, saya nggak bisa nahan kalo memang kamu mau cari yg lebih baik.”

Dia: “…”

Malamnya,
Dia sms, “sayang, maaf ya… bisa nggak protes2 aku yg kemarin itu kamu lupain. Aku cuma emosi. kamu benar, hrsnya aku nggak kayak gitu.”
Saya tersenyum. Tapi entah kenapa, dalam hati terbersit pikiran seperti yg dia bilang kemarin. Apakah sebenarnya memang kita seharusnya bersama atau tidak?

Beberapa bulan kemudian saya putuskan untuk pisah. Saya sungguh berharap suatu hari dia akan menemukan seseorang yang tepat, yang dengannya dia tidak perlu lagi protes.

Tidak ada komentar: